Thursday, August 12, 2010

TABIAT DAN MORAL ILAHI

Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Kejadian 1 : 26, 27.


TUHANmenciptakan manusia menurut gambar dan rupa-NYA dengan tujuan agar manusia dapat menguasai makhluk-makhluk lain di bumi ini (ay. 26). Ini agar manusia dapat melaksanakan kehendak TUHAN untuk memerintah bumi ini dan mengelolanya dengan baik. Apa maksudnya TUHAN menciptakan manusia “menurut gambar-NYA”? Sejatinya “menurut gambar-NYA” terutama berorientasi pada tabiat atau moralnya, bukan pada fisiknya. Segambaran dengan TUHAN ini dimaksudkan agar manusia dapat bertindak dalam kebenaran, kesucian dan keadilan seperti TUHAN sendiri. Manusia memiliki kemampuan mengerti kehendak TUHAN—apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna. Inilah keunggulan yang dimiliki manusia, yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Itulah sebabnya manusia pertama tidak perlu diberi hukum dan peraturan, sebab ia mampu melakukan apapun yang dikehendaki oleh TUHAN. Manusia bisa berbuat baik dalam ukuran TUHAN tanpa bayang-bayang hukum dan peraturan. Manusia seperti inilah yang dirancang TUHAN sejak semula.


Sesungguhnya kemampuan untuk segambar dengan ALLAH dan memiliki moral ilahi ini didapatkan oleh manusia karena TUHAN menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung manusia (Kej. 2:7). Inilah keunggulan yang dimiliki manusia. Nafas hidup dari ALLAH itu, yang dalam bahasa aslinya נִשְׁמַתחַיּיִם(nishmath khayyim), memberi kesanggupan kepada manusia untuk mengerti kehendak TUHAN dengan sempurna dan melakukannya. Jadi kesanggupan ini sudah diberikan TUHAN kepada manusia sejak semula. Berarti manusia yang orisinal adalah manusia yang tidak membutuhkan hukum, peraturan, dan syariat seperti orang Yahudi. Dalam zaman Perjanjian Lama, orang Yahudi sangat kuat dalam syariat yang mereka sebut mishpatim (undang-undang sipil). Seluruh kegiatan hidupnya diatur oleh undang-undang sipil tersebut. Mengapa demikian? Karena memang sebelum TUHAN Yesus datang, orang Yahudi khususnya—dan manusia pada umumnya—belum diberi kesempatan untuk dapat kembali kepada rancangan ALLAH yang mula-mula. Belum ada kesempatan untuk memiliki kesanggupan mengerti kehendak TUHAN—apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna— secara menyeluruh, apalagi melakukannya. Kalau kesempatan itu sekarang sudah ada, janganlah kita menyia-nyiakannya. Jangan pula kita meremehkannya dengan kembali mewajibkan syariat-syariat agamawi. Standar kita sangat tinggi dan sangat sempurna, yaitu moral Ilahi.