Monday, July 11, 2011

Ketika Tiada Pilihan

Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”



“Aku harus jadi seorang Insinyur jurusan Teknik Informatika”, adalah merupakan cita-citaku sejak saya duduk di bangku SMP. Maklum, komputer lagi ‘booming’ digunakan dan dipelajari di sekolah bagi beberapa kota-kota besar, namun bagi saya itu hanya cerita belaka karna saya bersekolah di salah satu sekolah dasar negeri yang ada di kampung kelahiran saya, yang namanya tidak terdapat di dalam peta bumi Indonesia. Mendengar kecanggihan alat buatan tangan manusia ini pulalah yang mendorong saya untuk menjadi seorang Insinyur jurusan Teknik Informatika. “Seperti apa sih bentuk komputer itu dan gimana cara mengoperasikannya? Kok kedengarannya canggih banget alat itu, suatu saat aku harus ngeliat dan mengoperasikannya”, inilah kerinduan saya yang paling dalam saat saya duduk di bangku SMP.

“Bang, aku bisa gak ambil kursus komputer”, inilah permohonanku kepada kakak saya setelah saya menamatkan pendidikan dari bangku SMA serta baru beberapa hari menginjakkan kaki di kota metropolitan Jakarta saat itu. Jujur, saya belum pernah lihat komputer hingga saya tamat SMA dan saya bersyukur akhirnya berkesempatan untuk mengikuti kursus komputer beberapa bulan lamanya. Beberapa bulan berselang, “La .. la .. la, la .. la .. la”, saya pun bersiul girang dan melangkah dengan pasti menuju ke rumah kontrakan kami yang ada di bilangan Jakarta Timur sambil berkata, “Bang, aku lulus test masuk untuk jurusan IT dan dapat beasiswa sebesar 70% berdasarkan hasil testku”, dengan senang hati saya memberitahukan hasil test masuk perguruan tinggi swasta yang terkenal baik kualitasnya untuk jurusan IT saat itu kepada kakak saya.

“Mantap Dek”, jawab kakak saya sambil ia mengacungkan jempolnya kepada saya menandakan puas dengan prestasi saya. “Tapi dek”, ia kembali melanjutkan pembicaraannya, “Kamu lebih baik masuk ke kampus UNAI saja, kita gak punya duit untuk bayar uang kuliahmu di Jakarta, tapi kalau di Unai kamu bisa kerja sambil kuliah, bisa tinggal di rumah kakek, jadi biaya lebih murah dan bisa dicicil”, jelasnya kepadaku. Saya merasa kecewa namun sangat menyadari kemampuan ekonomi orang tua kami, sehingga tidak ada pilihan bagi saya kecuali masuk ke kampus yang berbasis agama tersebut dengan jurusan yang berbeda. Puji Tuhan, kepasrahan ketidakmampuan ekonomi dibarengi dengan penyerahan sepenuhnya kepada Allah, saya dapat bekerja dengan baik hingga saat ini walaupun awalnya itu bukan jurusan yang saya rencanakan. Saudaraku, kiranya ayat pagi ini menjadi pegangan hidup kita dalam setiap perencanaan dan perjalanan hidup kita, maka kita akan dituntun-Nya kepada rancangan damai sejahtera walau mungkin itu bukan rancangan awal yang kita inginkan. Allah sanggup dan mengerti yang terindah dalam hidup kita. Jadilah manusia yang tegar, siap menerima setiap keadaan walau berbeda dengan kerinduan hati kita semula, sebab IA lebih mengetahui diri kita ketimbang kita sendiri. Allah memberkati kita semua. Amin.


Mari kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat kita dengan menggunakan tombol "Tell A Friend" di bawah ini: