Saturday, October 01, 2011

Ketika Kesabaran Kita Dituntut

Galatia 5:22-23, “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.”

Saya dan suami datang dari latar belakang yang sangat berbeda, khususnya perihal iman kepercayaan. Saya lahir dan dibesarkan di kota, sedangkan suami saya dilahirkan dan dibesarkan di kampung. Namun, kami menikah dan membentuk bahtera rumah tangga dalam satu iman dan kepercayaan yakni sesuai dengan iman kepercayaan yang saya miliki sejak semula. “Kamu yang meminta suami kamu untuk mengikuti kepercayaan kamu, ya?” Banyak teman-teman saya mengira bahwa sayalah yang memaksa suami saya untuk mengikuti kepercayaan saya. “Oh, bukan begitu. Enam tahun sebelum suami saya mengenal saya, dia telah mengenal kepercayaan yang saya anut ini bahkan ketika ia masih di bangku kuliah, jadi bukan karena mau menikah dengan saya”, jawabku kepada teman-temanku setiap kali pertanyaan yang sama muncul dalam kejadian yang berbeda.

Satu hal yang membahagiakan saya adalah suami saya turut aktif dalam pelayanan gereja dan organisasi gereja yang saya anut. Setelah sekian lamanya menekuni pelayanan di organisasi gereja yang kami yakini, satu hal yang kami hadapi, sangatlah diluar dugaan, kelihatannya ada orang-orang yang tidak senang akan keberadaan kami, lebih jauh lagi mereka menuduh pelayanan kami hanya semata-mata untuk menebar pesona dan supaya terpilih menjadi pengurus. Bahkan orang yang seharusnya menjadi teladan dalam Jemaat, melakukan pelecehan dengan kata-kata penghinaan tanpa jelas apa penyebabnya kepada kami. Dia juga mengatakan bahwa suami saya bodoh. Hati saya begitu marah melihat suami saya diperlakukan seperti itu, namun saya mencoba untuk menahan agar emosi saya tidak terpancing.

Namun saya melihat suami saya tenang-tenang saja bahkan sedikit tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. Pulang dari gereja saya bertanya kepada suami kenapa ia tenang saja dan tidak menanggapi orang itu. Lalu dia menjawab saya: “Jika saya lawan dia, berarti saya sama dengan dia.” Saya berpikir betul juga. Kata-kata itu saya renungkan dalam hati saya dan muncul pertanyaan: Mengapa saya yang lahir dan mengenal kebenaran yang lebih dahulu saya yakini dibanding suami saya, begitu sulit mencegah emosi? Apakah memang iman orang yang mengenal kebenaran karena mereka yang mencari sendiri kebenaran itu lebih kuat? Apapun jawabannya, sesungguhnya siapa pun yang sudah mengenal kebenaran, haruslah memiliki buah Roh itu. Tuhan kiranya Memberkati Kita semua. Amin.

Mari Kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat Kita dengan menggunakan tombol “Tell A Friend” dibawah ini :