Inilah pengalaman
pertamaku bepergian ke luar negeri di sepanjang sejarah hidupku. Baru
beberapa hari yang lalu aku menginjak usia yang ke-39, tak terasa hari demi
hari berlalu, usia pun turut berjalan melangkah ke depan, bertambah dan
bertambah tua dari tahun ke tahun. Sekian lamanya Allah mengijinkanku hidup di
atas bumi ini, namun saya baru diijinkan Tuhan untuk bepergian ke luar negeri
ketika usia setua sekarang ini. Perjalanan ke Negara tetangga yang mayoritas
penduduknya beragama Katolik ini ditempuh kurang lebih enam jam perjalanan
lamanya. Saya tinggal di Ibukota Negara tetangga ini selama tujuh minggu
lamanya, waktu yang cukup lama bagi saya untuk berpisah dengan istri dan ketiga
anak saya. Saya tinggal di sebuah ‘guest house’ selama tinggal di kota itu. Sudah pasti,
lokasi tempat saya tinggal selama tujuh minggu di ibukota Negara tetangga itu
dilengkapi dengan fasilitas yang umumnya disediakan juga oleh hotel-hotel,
termasuk fasilitas televisi disediakan didalamnya.
Pada satu waktu yang
agak lengang dari seluruh tugas-tugas yang harus saya selesaikan saat itu,
melalui saluran TV yang tersedia, saya melihat sebuah peristiwa tragis terjadi
di negara lain dimana seorang pemuda yang berani mati yang sempat direkam
oleh CCTV di sebuah gedung. Sang pemuda meliliti tubuhnya dengan rangkaian bom,
keringat dingin membasahi tubuhnya ketika ia berjalan memasuki gedung tersebut
sementara seorang petugas keamanan gedung mendatanginya dan berkata, “Where
are you going boy…?” Pemuda tersebut diam dan tetap melangkahkan kaki
berjalan menuju ke dalam gedung. Petugas keamanan gedung bertanya untuk
kedua kalinya, “Where are you going boy…?” namun tanpa respon apapun
dari sang pemuda, tiba-tiba ia menekan sebuah tombol dan bom yang melilit
ditubuhnya pun meledak. Tubuhnya hancur lebur. Bagi kelompoknya,
pemuda itu dipandang sebagai pahlawan yang gagah berani namun sesungguhnya
tidaklah demikian. Pemuda itu mati sia-sia. Ia berani mati untuk keyakinan yang
salah. Namun, apa sesungguhnya yang jauh lebih heroic dari pada sekadar berani
mati yakni, berani hidup.
Renungan pagi hari ini, Rasul Paulus bukan hanya berani mati, melainkan juga berani hidup. Ia berkata, “Bagiku hidup adalah Kristus”. Jadi alasan terkuat untuk hidup adalah melakukan perbuatan yang memuliakan Kristus: melayani jemaat, menolong sesama serta memberitakan kasih Allah dalam karakter kehidupan setiap saat. “Mati adalah keuntungan” Untung sebab kita bertemu Kristus muka dengan muka pada waktu kedatangan-Nya kedua kali kelak. Jadi berani mati bagi kepentingan diri sendiri, tetapi berani hidup bagi kebenaran Yesus Kristus yang telah kita miliki. Rasul Paulus lebih memilih berani hidup untuk orang lain mengenal Kristus dan bahkan ia masih ingin berbuat banyak hal demi menjadi berkat bagi sesamanya. Paulus berani hidup karena agenda kerjanya masih penuh cita-cita mulia. Menjadi orang yang berani mati saja tidak cukup. Kita juga harus berani hidup. Berani menjalani hari demi hari dengan penuh semangat, walaupun banyak kesulitan menghadang. Untuk itu, kita perlu memiliki visi hidup seperti Paulus. Ia hidup bagi Kristus dan sesama, tidak sibuk untuk diri sendiri saja. TUHAN memberkati.
Mari
Kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat Kita dengan menggunakan tombol “Tell
A Friend” dibawah ini: