Wednesday, February 01, 2012

Hati Yang Bersahaja

Markus 9:36, 37, ”Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”

Waktu menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh lima menit di sore hari. Saya pulang lebih awal dari kantor setelah seharian menghadiri rapat dan terasa letih karna membicarakan banyak hal. Kini saya sedang duduk santai di dalam mobil hendak menuju kembali ke rumah, seperti biasa saya mengambil handphone untuk melihat jikalau ada telepon maupun pesan singkat terkirim ke handphone saya. Benar, terlihat ada tanda pesan melalui BBM di handphone saya. Tergoda untuk segera membuka pesan BBM tersebut, ternyata anak kami yang bungsu telah mengirimkan pesan kepada saya sejak sebelas menit sebelumnya.

“Papi, masa di hp-ku ada orang sms masa dia bilang, “Ma, isiin pulsa ke nomor ini bla2 trus 50.000,- atau 20.000,-. Kayak aku Mama dia aja!!!” Inilah isi pesan yang dia tuliskan kepada saya. “Jangan jawab Nak, itu nanti nyedot pulsa trus nipu”, jawabku segera mengingatkan anak saya supaya tidak berusaha membalasnya. Maklum, anak kami yang bungsu ini memiliki sifat lebih pemberani dibanding kakaknya, juga kreatif dan responsif. Saya tidak mau tanpa berpikir panjang ia mencoba berbalas lewat sms dan kelak merugikan dia lebih banyak. “Iya Papi… Tapi aku kan bukan ibunya dia”, kembali responsnya lewat pesan BBM tadi sore. Ia masih tetap sulit menerima kenapa sms yang masuk mengaku seolah-olah anak saya adalah ibunya.

Terlibat dalam pembicaraan lanjutan dengan anak saya, baginya tetap isi sms itu tidak masuk akal. Demikian polosnya anak saya yang sudah mulai beranjak remaja, dalam menanggapi hal-hal yang cenderung dapat menipu dirinya sendiri. Bahkan kita sudah amarkan pun, dia masih merasa orang lain tidak akan menipunya. Ia beranggapan bahwa pikiran orang lain sepolos dan setulus pemikirannya, tanpa ada rasa curiga sama sekali. Andaikan iman dan penurutan kita kepada Allah sama seperti polosnya pemikiran anak saya dalam cerita di atas, maka kehidupan rohani kita akan jauh lebih baik dari sekarang ini. Tidak memerlukan kepintaran yang luar biasa untuk mengenal Allah lebih jauh. Tidak juga diperlukan logika matematis yang masuk akal untuk dapat percaya kepada janji-janji dan nasehat Allah, karena iman dalam penurutan kepada Allah adalah melakukan hal yang mustahil bagi dunia namun menjadi persyaratan utama bagi pengikut sorga. Diperlukan hanya sebuah “hati yang bersahaja”, polos dan tidak memiliki kemampuan untuk bertanya lebih jauh tentang logika dalam penurutan yang sempurna kepada Allah. Jangan biarkan akal budi yang Allah telah karuniakan kepadamu, terbuang sia-sia dan membawa engkau kepada kualitas kehidupan rohani yang jauh lebih buruk. Milikilah “kepolosan” seorang anak kecil untuk mengerti perkara surgawi. Amin.

Mari Kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat Kita dengan menggunakan tombol “Tell A Friend” dibawah ini: