3 Yohanes 1:4, “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.”
Pada waktu SMP aku bersekolah di sekolah yang berlokasi di tengah kota Jakarta. Pada waktu itu sering terjadi tawuran antar siswa yang sering memakan korban termasuk siswa yang tidak terlibat langsung. Untuk memudahkan komunikasi dan memantau keadaanku, aku dibelikan sebuah handphone untuk pertama kalinya oleh orangtuaku, sementara teman-temanku sudah bergonta-ganti handphonenya. Di sekolah pun, sebenarnya handphone tidak boleh dinyalakan pada waktu jam-jam kelas dan aku sangat mematuhi peraturan ini. Handphone tersebut biasanya aku simpan di kantong celanaku, dan hanya ku nyalakan pada waktu usai sekolah untuk memberi kabar keadaanku, agar orang tuaku tidak khawatir.
Pada suatu hari, ketika lonceng berbunyi menunjukkan bahwa jam belajar sudah usai, kami siswa dan siswi bersiap untuk pulang. Ketika kuraba kantong celanaku, ku dapati handphoneku sudah tidak ada. “Teman-teman, ada yang lihat handphone ku nggak?” tanyaku kepada teman-teman di kelas. “Enggak tuh”, jawab beberapa teman. Lalu semuanya sibuk membantu mencari. Setelah beberapa saat handphone itu tidak juga ditemukan. “Aduh, gimana kamu, nanti pasti dimarahin mama papamu”, tanya temanku dengan simpatik dan yang lain pun menimpali. “Aku rasa mama papaku tidak marah. Nanti aku bilang aja sama mama papaku apa yang terjadi. Mudah-mudahan ada yang mengembalikan besok.” Aku menjawab dengan tenangnya, membuat temanku heran. Keesokan harinya, rupanya berita kehilangan ini sampai di telinga pak guru. “Anak-anak, siapa yang sudah menemukan handphone yang hilang kemarin?” tanya pak guru. Tidak ada yang menjawab. Pak guru memandang ke arahku. “Budi, bagaimana reaksi orang tuamu terhadap hal ini, apakah orang tuamu marah?” Aku terdiam sejenak lalu menjawab: “Tidak pak, mereka hanya mengatakan lain kali saya harus lebih berhati-hati.” “Betul, orang tua kamu tidak marah?” Sekali lagi pak guru bertanya untuk menegaskan. “Betul Pak.” Orang tua saya selalu mengatakan bahwa anak-anaknya adalah harta yang paling berharga di dunia ini. Oleh sebab itu, saya hanya perlu dengan jujur menceritakan apa yang terjadi.”
Hidup dalam dunia ini adalah ujian, kepercayaan dan penugasan sementara. Meskipun hanya sebuah peristiwa kecil, itu akan mempunyai pengaruh yang berarti dalam pengembangan karakter kita. Setiap hari adalah hari yang penting dan setiap detik adalah sebuah kesempatan untuk membentuk karakter kita, untuk mewujudkan kasih atau untuk bergantung kepada Tuhan. Kita sangatlah berharga di mata-Nya. Lebih berharga dari segala sesuatu di dalam dunia ini. Adalah maksud Tuhan agar kita hidup dalam kebenaran-Nya sementara kita berjalan di dalam dunia ini. Amin.
Mari Kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat Kita dengan menggunakan tombol “Tell A Friend” dibwah ini: