Sebuah sekolah gereja di sebuah negara yang terkenal dengan individualistisnya mengundang grup nyanyi kami untuk mengadakan minggu sembahyang di sekolah dasar dan menengah mereka. Sembilan puluh tujuh persen siswa-siswi di sekolah itu bukanlah anak anggota gereja. Jadwal minggu sembahyang yang ditetapkan bersamaan dengan awal semester baru di sekolahku. Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi setiap anggota grup. Kepada anggota yang mau ikut harus mendapat ijin khusus dari sekolah dan orang tua dengan konsekuensi harus mampu mengejar ketinggalan pelajaran dengan berbagai tugasnya. Ada rasa khawatir untuk meninggalkan sekolah, karena berpikir tugas utama kami adalah belajar, bukan menyanyi. Sementara itu, hati ini terpanggil juga untuk melayani. “Ton, lu jadi ikut nggak?” “Aku sich pingin banget, tapi aku takut pelajaranku tertinggal.” “Lu, gimana?” “Aku sudah dapat ijin, tapi aku harus bisa kejar pelajaran yang tertinggal, Mamaku juga bilang, jangan sampe ketinggalan pelajaran”, kata yang lainnya. “Gimana ya, kalau kita semua nggak bisa? Nanti bisa membuat mereka kecewa, karena belum pernah ada minggu sembahyang yang didampingi oleh grup nyanyi mahasiswa.” Aku jadi teringat perkataan yang mengatakan: “Memberi belumlah berarti memberi bila tidak ada yang dikorbankan.”
Pada hari yang ditentukan, sekitar dua puluh anggota grup nyanyi berangkat. Pelajaran firman Tuhan di bawakan pagi dan petang oleh pembicara yang sudah ditentukan, disertai dengan lagu-lagu pujian. Di antara waktu pagi dan petang, setiap anggota grup nyanyi diminta untuk berbicara dari hati-ke-hati kepada siswa siswi yang ada. Tujuan sharing itu hanya untuk mengenal satu sama lain lebih dekat dan menyaksikan kebaikan Tuhan di dalam kehidupan kami masing-masing, namun hasilnya lebih besar dari yang kami duga. Aku semakin menyadari bahwa di sekeliling kita begitu banyak orang yang membutuhkan sedikit kata simpatik dan perhatian, sedikit perbuatan kasih yang ternyata dapat mengubah bagaimana mereka memandang hidup ini. Di akhir acara minggu sembahyang, kami kembali ke kampus dengan sukacita, begitu juga siswa siswi dan guru-guru yang ditinggalkan. Rasanya tidak ada artinya pengorbanan meninggalkan kelas selama seminggu dan harus berjuang mengejar ketinggalan pelajaran dibandingkan dengan kebahagiaan melihat hati-hati yang dibukakan untuk mengalami kebaikan Tuhan secara langsung dalam hidup mereka.
Masing-masing dari kita mempunyai tanggung jawab untuk menjangkau orang di sekitar kita agar mereka juga dapat mengecap kebaikan Tuhan dalam hidup mereka. Bukan besar dan kecilnya yang menjadi ukuran, melainkan kasih yang kita taruh di dalam setiap perbuatan itu. Tuhan sungguh mengasihi kita dan Dia sudah rela berkorban bagi kita. Mengapa kita tidak belajar berkorban, meskipun sedikit saja, untuk mempermuliakan nama Tuhan melalui perbuatan kita yang penuh kasih?
Mari Kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat Kita dengan menggunakan tombol “Tell A Friend” dibawah ini: