Saturday, April 23, 2011

Andai Titanic Mendengar


Amsal 27:5, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi.”



Saya teringat pada tahun 2002 yang silam, ketika saya, istri dan anak kami yang pertama waktu itu berumur 1 tahun, pindah dari kampung halaman ke kota Jakarta. Kami berkenalan dengan satu keluarga yang baru di gereja, mengundang kami sekeluarga untuk makan siang bersama di rumah keluarga tersebut. Seusai makan siang, tuan rumah bertanya pada saya dan istri, “Bapak dan ibu, maukah kita menyaksikan tontonan film terbaru dengan judul “Kapal Titanic?” Saya dan istri katakan: “Oh.. boleh, sangat senang kami ingin menyaksikannya… dan kami pun menonton bersama film Titanic”. Saya menyimak cerita dalam film tersebut. Ketika para awak kapal mengangkat bagasi dari bawah, nyonya Albert Caldwel bertanya, “Benarkah kapal ini tidak bisa tenggelam?” “Benar nyonya,” jawab salah seorang diantaranya. “Bahkan TUHAN sendiri tak mungkin menenggelamkan kapal ini.” Dua hari kemudian kapal yang diberangkatkan dari pelabuhan Southampton, Inggris menuju New York itu memasuki kawasan Grand Banks, sebuah kawasan berbahaya karena banyak gunung es bawah laut. Pada April 1912, dua puluh menit sebelum pukul 24.00 malam, kapal pesiar mewah Titanic menyerempet gunung es dan akhirnya tenggelam 3 jam kemudian.

Awalnya Frederick Fleet, petugas menara pengintai melihat sesuatu yang gelap menghadang di depan. Mula-mula kecil, lama kelamaan bertambah besar, ia segera membunyikan bel berbahaya, “Fleet apa yang kamu lihat?” Tanya kapten kapal. “Gunung es di depan.” “Terima kasih” jawab suara itu lagi santai, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Bahkan ketika kapal menyerempet gunung es itu, sang kapten Edward J Smith, sama sekali tidak mengurangi kecepatan kapal . Titanic tetap melaju dengan kecepatan 22,5knot sekitar 45 km per jam, tanpa ada gerakan menghindari maut yang menanti di depan. Kapal mewah yang mengklaim diri “tidak bisah tenggelam” itu seolah ingin menguji dirinya melawan gunung es raksasa. Sungguh ironis Titanic justru karam dalam pelayaran perdananya, bahkan Thomas Andrews, yang juga ada di atas kapal tidak mampu menyelamatkan kapal rancangannya. Hanya 705 orang dari 2.235 penumpang yang selamat, itu pun diselamatkan kapal tua Carphatia yang kebetulan lewat. Sungguh pengalaman nonton film yang menggugah hati kami.

Seringkali kita jumpai, kesombongan membuat sebagian orang sulit untuk menerima teguran. Mengapa teguran dan peringatan selalu diasosiasikan dengan kelemahan atau aib? Bagaimanakah respons yang benar menghadapi sebuah teguran? Peringatan dari TUHAN melalui teguran dapat dianggap ibarat menerima sesuatu yang berharga, seperti ayat renungan pagi ini menekankan lebih baik teguran yang nyata untuk mengingatkan kita dari suatu kesalahan yang sering dilakukan bahkan dari maut. Teguran atau peringatan FirmanNya, membuat kita hidup, sama seperti andaikan kapten kapal Titanic mendengar peringatan bahaya dari petugas menara pengintai, mungkin saja Titanic tidak akan tenggelam. Tidak jarang TUHAN memakai badai untuk merebut perhatian kita, ketika angin sepoi tidak lagi mempan. Allah memberkati kita semua untuk sedia selalu menerima teguran kasih dari-Nya.



Mari kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat kita dengan menggunakan tombol "Tell A Friend" di bawah ini.