Wednesday, August 26, 2009

Pengaharapan Dalam Ketakutan

Ibrani 2 : 14-15 “Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu iblis, yang berkuasa atas maut; dan supaya dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena takutnya kepada maut.”




Tiga tahun yang lalu suami saya masih bertugas di negara orang lain dan kami sekeluarga tinggal di sana selama beberapa tahun. Sementara itu anak-anak melanjutkan kuliah di universitas yang berasrama. Saat itu taifun tengah melanda kota. Suara angin begitu kencang, berdesing tidak berkeputusan, ditambah dengan hujan yg begitu lebat. "Iihhh..., kok seram sekali ya pa bunyi anginnya?", kata saya kepada suami. "Iya ma...., bagaimana ya kabarnya anak-anak kita di asrama? Mama bisa tolong jemput mereka nggak? Rasanya lebih tenang kalau kita semua berkumpul di saat seperti ini. Ajak saja sekalian anak-anak yang lain ! ", tambah suami saya sebelum dia pergi ke kantor. "Iya pa, kalau begitu mama bersiap sekarang ya untuk menjemput anak-anak.", kata saya menyetujui usulannya.

Saat saya sedang dalam perjalanan menjemput anak-anak saya di asrama, saya begitu takut karena hujan dan agin kencang menghadang di jalan ! Banyak pohon-pohon dan tiang listrik tumbang di kanan-kiri jalan, menghalangi jalan yang kami lewati. Sekitar tiga kilometer lagi dari sekolah tiba-tiba sebuah tiang listrik yang besar tumbang dan menutupi seluruh badan jalan, sehingga saya tidak dapat melanjutkan perjalanan. Dengan panik saya segera menelepon anak- untuk memberitahu mereka. "Hallo... kakak ? Hallo..? Bisa dengar suara mama enggak ...?", seru saya berkali-kali karena suara dari ujung telepon yang terputus-putus. Beberapa saat setelah itu, telepon genggam saya pun kehilangan sinyal sama sekali, oleh karena taifun sudah merusak beberapa menara transmisi telepon. Saya tidak bisa menelepon anak-anak dan suami utk memberitahu keadaan saya. "Aduh ya ampun..., bagaimana ini...?!", saya menjadi lebih panik lagi karena tidak bisa berkomunikasi. "Tuhan tolonglah saya...!", itulah kata-kata yang keluar dari mulut saya. Setelah berpikir sejenak, saya putuskan untuk kembali pulang ke rumah oleh karena saya tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan dan tidak bisa menjemput anak-anak.

Di tengah perjalanan pulang saya terjebak oleh banjir ! Air sudah menggenangi sebagian jalan tol yang akan kami lalui dengan ketinggian kira-kira 60 sentimeter. Mobil yang saya kendarai harus didorong dalam keadaan mesin mati untuk melewati banjir tersebut. "Ya Tuhan, tolonglah agar saya boleh tiba di rumah dengan selamat... Agar suami dan anak-anak saya juga bisa tiba dengan selamat dan kami bisa berkumpul kembali di rumah.", itulah doa dan pengharapan saya. Atas perlindungan Tuhan, akhirnya saya dapat tiba kembali di rumah dengan selamat. Sekitar jam 7 malam telepon rumah pun berbunyi dan dari ujung telepon terdengar suara anak perempuan saya. "Ma... aku, kakak dan beberapa teman sekarang sudah berada di terminal bus dan akan naik bus terakhir untuk pulang setelah banjir mulai surut ya...". Rasanya lega sekali mendengar bahwa mereka dalam keadaan baik-baik saja. Malam itu sekitar jam 10:00 malam ketika suami, anak-anak bersama beberapa orang teman kuliahnya dapat tiba dengan selamat di rumah. Keesokan harinya kami dapati berita di pelbagai media berita, ada 209 korban akibat taifun tersebut! Ini adalah taifun terburuk yang pernah terjadi di negara ini. Kami semua yang berkumpul memanjatkan doa terima kasih dan syukur kepada Tuhan yang meluputkan kami semua dari taifun ini.

Ayat renungan kita pagi ini mengatakan bahwa Yesus telah berhadapan muka dengan muka dengan kematian dan Dia telah mengalahkan maut itu, serta bangkit kembali sebagai pemenang. Sebagaimana Yesus telah mengalahkan kematian dan iblis si penguasa maut. Melalui pengorbanan-Nya, Yesus telah membebaskan umat manusia dari perhambaan rasa takut akan kematian. Kebangkitan Yesus memberikan harapan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan hanya merupakan transisi sebelum kita menuju kepada hadirat Allah saat Yesus datang nanti. Fokus kita saat ini bukanlah pada masa transisi tersebut, tetapi pada apa yang ada di seberang sana, di Pantai Laut Kaca. Kita dapat mengalahkan rasa ketakutan kita yang terbesar, hanya jika kita tinggal selalu dalam kepastian pengharapan di dalam Tuhan kita Yesus Kristus.

Let us fix our eyes to Jesus and be glad every day !

Bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat anda dengan menggunakan tombol "Tell A Friend" di bawah ini.