Saturday, June 06, 2009

Hidup Ini Seperti Uap

Yakobus 4 :14 “Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”






Di satu siang secara tidak sengaja saya berkenalan dengan seorang bapak yang bekerja sebagai tukang kayu. Entah kenapa kami merasa cocok satu dengan yang lain, sehingga pertemuan kami berlanjut menjadi pertemuan-pertemuan berikutnya. Melalui perkenalan dengannya, saya jadi mengetahui bagaimana dia sangat menderita. “Istri saya pergi meninggalkan saya… Banyak orang yang tidak baik lagi kepada saya, termasuk tetangga dan juga mantan atasan saya…”, dia mencurahkan isi hatinya pada saya. Mendengar kata-katanya saya hanya diam, tetapi tidak sengaja mata saya tertumpu pada tas yang dibawanya ketika itu. “Apa yang bapak bawa di dalam tas itu? Sepertinya banyak sekali buku-buku dan dokumen di dalamnya”, tanya saya ingin tahu. Dia tertunduk lesu. Kemudian yang terdengar adalah suara isak tangisnya. Saya bingung apakah ada kata-kata saya yang salah sehingga menyakiti hatinya. “Itulah pak…, maksud kedatangan saya ke rumah bapak… Saya ingin mengembalikan semua yang pernah saya terima dari gereja…, yaitu Alkitab, surat baptisan, dan surat nikah…”, katanya sambil menangis tersedu-sedu. “Kenapa harus dikembalikan pak?”, tanya saya tidak mengerti. “Saya sudah bosan hidup…, saya ingin mati saja!”, katanya dengan emosi. Saya sangat terkejut dan terperanjat mendengar kata-katanya. Bagaimana mungkin bapak ini menjadi begitu putus asa. “Pak…, dunia ini tidak selebar daun kelor. Jangan sampai bapak berpikir seperti itu”, jawab saya mencoba untuk menghibur dia. Tetapi perkataan saya bukan membuatnya jadi terhibur, malah dia semakin terlihat emosi dan tidak terkontrol.

Akhirnya saya melakukan pendekatan yang berbeda. “Baiklah…, kalau bapak ingin segera mati silahkan. Tetapi sebelum bapak melakukan itu, bagaimana jika bapak menolong saya?,” kata saya dengan hati-hati. ”Pertolongan apa pak?”, tanyanya dengan wajah heran. “Saya ingin dibuatkan lemari buku yang bagus. Bisa kan bapak menolong saya?”, tanya saya dengan bersemangat. “Baiklah pak…”, jawabnya pelan. “Oke…, kalau begitu besok kita sama-sama belanja bahan-bahan yang diperlu. Dan tas bapak ini, bawa pulang saja dahulu yaa…”, kata saya dengan tenang. “Iya pak!”, jawabnya singkat. Hari-hari di depan kami lalui dengan kesibukan. Saya juga turut membantu menjadi asistennya. Sepanjang hari dia berada di rumah kami, membuat dia sempat mengikuti renungan malam bersama kami. Renungan dan doa yang didengarnya membuat dia menjadi lebih percaya diri, setiap hari terjadi perubahan dalam dirinya. Hingga pada satu hari, saya mengajak dia untuk berkunjung ke salah satu rumah teman yang sangat menderita secara keuangan. Sepulang dari sana, dia menjadi sadar ternyata dia bukanlah yang paling menderita dalam hidup ini, dan mengakhiri hidup bukanlah pilihan yang baik baginya.

Ayat renungan kita di pagi yang indah ini mengatakan bahwa kita tidak akan pernah tahu akan hari esok, hidup kita hanya seperti uap yang dalam sekejap bisa lenyap. Lembaran hidup kita ditentukan oleh sikap dan keputusan dari kita dalam mengisinya. Kita dapat mengisi hidup ini dengan ketidakpuasan, kegelisahan, kekhawatiran, menyalahkan nasib atau bahkan keputus-asaan. Jika ini pilihan kita, maka kita akan melihat hidup ini tidak ada gunanya. Namun sebaliknya, jika kita ingin mengisi kehidupan kita dengan kegembiraan, kepercayaan dan bersyukur, maka kita akan melihat bahwa kuasa Tuhan dapat memberikan warna-warni yang indah dalam lembaran hidup kita. Segala macam tantangan hidup akan datang silih berganti kepada kita setiap hari. Hidup kita ini singkat seperti uap yang mudah lenyap. Mari kita kita berjalan bersama Tuhan dan percaya kepada-Nya, maka kita akan merasakan betapa Tuhan memiliki rencana yang baik bagi kehidupan kita.

May we receive His wonderful blessings today !