Roma 2 : 21 “Jadi bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri? Engkau yang mengajar : ‘Jangan mencuri,’ mengapa engkau sendiri mencuri?”
Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah bertemu dengan sahabat saya, hingga satu saat dia berhasil menghubungi saya kembali. “Hallo…, ini aku temanmu! Masih ingat dengan aku sahabat?”, suaranya di ujung telepon terdengar begitu bersemangat. “Kabar baik ! Wah…, kok tiba-tiba bisa menghubungiku?”, jawab saya gembira. “Sulit sekali mencari informasi tentang dirimu. Kebetulan aku mendapat tugas kantor berkunjung ke kotamu. Aku berusaha keras mendapatkan info keberadaanmu dan akhirnya aku bisa dapatkan. Bisa tolong jemput aku di bandara besok?”, tanya dia. “Dengan senang hati, aku pasti akan menjemputmu.”, jawab saya mengakhiri pembicaraan sore itu.
Keesokan harinya sesuai waktu yang sudah diberikan saya pergi menjemputnya di bandara. Kami sangat gembira, karena sudah sangat lama tidak bertemu. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah kami saling bertukar cerita tentang pekerjaan, sahabat-sahabat yang lain, hingga sampai kepada keluarga. “Ngomong-ngomong sudah berapa orang putramu?”, tanya saya padanya. “Ha..ha..ha.. Anakku ada 4 tetapi tidak ada yang putra !”, jawabnya sambil tertawa lucu. “Masih punya keinginan untuk punya laki-laki?”, tanya saya lagi. “Sebetulnya saya sudah sangat berbahagia dengan keluarga yang saya miliki sekarang, tetapi boleh juga sih kalau bisa dapat anak laki-laki.”, jawabnya santai. “Ok, kalau begitu akan kuberikan teori agar engkau bisa mendapat anak laki-laki.”, kata saya menggurui. “Maksudmu?”, dia bertanya penuh minat. ”Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mempunyai anak laki-laki, antara lain engkau harus memperhatikan makanan, kemudian kondisi tubuhmu, kemudian harus cukup istirahat”, demikian saya menjelaskan apa yang saya pernah pelajari. “Ohh begitu ya ? Ngomong-ngomong putramu sendiri ada berapa?”, tanyanya lagi. “Aku punya dua orang putri.”, jawab saya santai. ”Wah, bagaimana mungkin kau mengajarkan aku untuk mendapatkan anak laki-laki sementara kau sendiri tidak punya anak laki?”. Jawabannya membuat kami tertawa terbahak-bahak sepanjang perjalanan.
Ayat renungan kita hari ini mengatakan bahwa bagaimana mungkin kita bisa mengajar orang lain jika kita sendiri tidak bisa mengajar diri kita sendiri. Di dalam hidup ini terkadang kita merasa lebih mengerti tentang sesuatu hal dari pada orang lain. Atau kita merasa lebih mengusai sesuatu hal dari pada orang lain, sehingga kita merasa pantas untuk menggurui dan mengajari orang lain. Padahal kita sendiri belum menjalankan apa yang kita katakan itu. Kalaupun kita sudah coba menjalankan, kita belum berhasil sepenuhnya. Bila belum berhasil menerapkan bagi kita sendiri, maka perkataan kita menjadi tidak berpengaruh dan hambar bagi orang lain. Marilah kita datang kepada Tuhan, memohon Dia untuk menolong kita dalam mempraktekkan dalam hidup kita apa yang baik. Agar apa yang kita katakan sejalan dengan kehidupan kita yang sesungguhnya dan dapat menjadi kesaksian bagi orang lain.
God bless each of us today !