Sunday, March 27, 2011

Rumah Idaman



Wahyu 21:4, “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”



"Hei bangun! Bangun!", teriak paman sambil berusaha membangunkan aku pada pagi hari Sabtu itu. "Ada apa paman?", tanyaku lebih lanjut. "Kita harus segera berangkat ke Jakarta dan melanjutkan perjalanan kembali ke kampung halaman melalui kapal laut!", demikian pamanku memberikan instruksi supaya saya segera berkemas-kemas. Memang ayah kami sudah beberapa hari dirawat di rumah sakit oleh sebab menderita penyakit ginjal, demikian informasi yang kami terima sesuai keterangan dokter. “Kita tidak tau apa ayah kamu masih bisa bertahan hidup. Namun dalam perkiraan kami sebagai orang medis, sangat tipis harapan papamu bisa bertahan hidup lebih lama lagi”, komentar pamanku yang kebetulan berlatar belakang medis.

Kami pun meninggalkan rumah paman menuju ke pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta sementara tiket kapal laut telah dibeli oleh kakak saya. Perjalanan melalui kapal laut sangat menyenangkan sambil mendengarkan lagu-lagu dikumandangkan oleh para penyanyi trio dan kwartet yang ada di dalam kapal tersebut di tengah lautan luas terbentang tanpa batas di kiri dan kanan. Tiga hari kemudian, tepatnya pada hari Senin pagi kami tiba di pelabuhan di kampung halaman. Mata saya tertuju kepada sosok pemandangan seseorang yang pastinya saya kenal. “Eh, bang udah lama nunggu kami di sini?” tanyaku kepada salah seorang dari lima kakak lelaki saya yang menjemput kami. “Oh ... belum lama juga, Dek”, jawabnya sambil terlihat wajah yang lesu dan kurang bersemangat. Tiba-tiba paman kami yang berjalan dibelakang saya bertanya kepada abang saya, “Bagaimana keadaan ayah kalian?”. "Iya Paman. Ayah sudah menghembuskan nafas yang terakhir pada hari Sabtu siang saat mama dan keluarga yang lain baru tiba dari gereja". Serta merta saya bersama paman dan kakak saya yang seperjalanan dengan saya dari Jakarta menangis dan menangis. Kami sering menangis sepanjang perjalanan dari pelabuhan menuju ke rumah duka yang kami dapati telah dipadati oleh kerumunan orang banyak yang melayat kematian ayah kami.

Kita sungguh tidak berkuasa atas hidup kita sendiri. Kita tidak dapat menambahkan satu centimeter pun nafas atas hidup kita. Sungguh hanya atas perkenaan Tuhan bagi kita semata. Kesedihan yang kami alami saat itu sungguh tak terkatakan, pedih dan pilu perasaan hati kita. Hanya ada satu pengharapan bagi kami anak-anak ayah kami yakni kesetiaan dan penyerahan hidup ayah kami ini kepada Tuhan, kesungguh-sungguhannya melayani pekerjaan Tuhan tanpa pamrih, menghibur hati kami semua dan meyakini bahwa pada suatu pagi yang cerah nanti, saat sangkakala dibunyikan dan Anak Manusia yakni Yesus, Juruselamat Dunia itu turun ke bumi pada kedatanganNya kali yang kedua, akan mempertemukan kami semua dengan ayah yang kami kasihi, teladan dalam kerohanian kami dan kami pun akan menikmati janji Tuhan yang pasti pada ayat nats Alkitab pagi ini, “tiada lagi air mata, tiada lagi perkabungan dan dukacita” berkerajaan bersama Yesus selama-lamanya. Allah kiranya menolong kita yang masih hidup untuk tetap setia dalam iman kepada Yesus sampai kedatanganNya yang kedua kali nanti. Selamat menikmati hari libur.

Mari kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat kita dengan menggunakan tombol "Tell A Friend" di bawah ini.