Monday, February 21, 2011

Kasih Tanpa Batas


Roma 8:32, “Ia yang tidak menyayangkan AnakNya sendiri, tetapi yang menyerahkanNya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?“


Sudah lebih 3 minggu, anak kami yang saat itu masih batita batuk pilek. "Waduh ... ma! Batuk anak kita sudah cukup lama ini enggak sembuh-sembuh, padahal sudah kita berikan obat-obatan alami. Gimana nih, ma?" tanyaku dalam sebuah pembicaraan dengan istri. "Belum lagi baru kita kasih makan dan minum susu, tiba-tiba batuk dan keluar semua deh makanannya, kan kita kadang jadi kesal juga...", lanjutku berkomentar. "Ya, pa! Jangan sampai anak kita kekurangan asupan makanan ya...", jawab istriku. Aku suka kasihan dengan anakku. Kalau sudah tengah malam, batuknya semakin mengganggu. Suatu pagi sekitar jam 2, batuknya berkepanjangan dan sangat mengganggu tidurnya. “Ayo deh Ma, kita bawa saja dia ke dokter!“ ajakku kepada istri. Akhirnya, kami pun boyong dia ke rumah sakit. Setelah melewati pemeriksaan dokter, diberikan obat untuk diminum dan cream penghangat. Dokternya bilang, “Pak, batuk anak bapak sudah agak meradang, jadi saya berikan obat untuk konsumsi satu minggu ya!“

Obat-obatan resep dokter telah habis diminum selama satu minggu, namun tidak menunjukkan adanya perkembangan kesehatan anak kami. “Pa, kita bawa lagi anak kita berobat ke dokter ya? Soalnya anak kita belum sembuh. Mama takut anak kita semakin parah nanti. Lihat nih pa, anak kita agak kurusan.", kata istri saya pada saat itu. Kami pun membawa anak kami kembali berobat ke dokter. “Bu, anak ibu sebaiknya dirawat di rumah sakit ini, karena dia harus kita uap dan fisioterapi 2 kali sehari.”, kata dokter menganjurkan pada kami. Mendengar kata-kata ini, saya tanyakan pada dokter apakah akan diinfus dan dokter menganggukkan kepala. Pikiran kami dibarengi stres saat dokter menganggukkan kepala menandakan anak kami harus diinfus. Terbayang tubuhnya yang masih kecil dan sudah kelihatan kurus. Kami pun akhirnya menyetujui anak kami untuk dirawat setelah kami berdua berdiskusi. Tak lama berselang, kami pun mendengar teriakan, "Sakit...!" dari dalam sebuah ruangan dan suara itu kami pastikan suara anak kami, sementara kami harus menunggu di luar ruangan tempat dokter dan perawat melakukan tindakan. Istri saya meneteskan air mata mendengar jeritan anak kami.

Saudaraku, betapa sedih bila melihat anak kita sakit, kita tidak rela anak kita sakit atau pun disakiti. Tapi Allah mengalami hal yang lebih sakit dari yang kita alami. Dia memberikan AnakNya yang tunggal untuk mati ganti kita. Betapa sakit...! Diludahi..., dihina..., dicela..., dicambuk..., memikul salib yang berat..., tanganNya di paku...! TubuhNya disalibkan! Tentu Allah, Bapa kita sangat sedih luar biasa... Tapi kasihNya yang besar pada manusia yang berdosa mengalahkan kesedihanNya atas derita AnakNya. Allah begitu mengasihi kita, Dia relakan AnakNya yang tunggal untuk mati ganti kita. Dalam perjalanan hidupmu bahkan dalam persoalan dan pergumulan hidupmu, percayalah bahwa ada Allah yang mengasihi kita. Ia sungguh mengasihi kita, itu sebabnya „Jika pun laut penuh tinta, langit menjadi kertas dan rumput-rumput jadi pena, takkan sanggup melukiskan betapa Allah mengasihi engkau dan aku setiap saat.“

Have a nice Monday. God bless us.


Mari kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat kita dengan menggunakan tombol "Tell A Friend" di bawah ini.