Kami sangat berbahagia ketika anak kami yang pertama lahir. Seorang bayi mungil dalam keadaan sehat, kulitnya putih bersih dan rambutnya sangat halus. Setelah menjadi orang tua, kami menjadi lebih memahami lagi arti kasih seorang ayah dan kasih seorang ibu kepada anak-anaknya, terlebih kasih Tuhan kepada kita semua. Dia bertumbuh dengan sehat dan kami sangat bersyukur kepada Tuhan. Pada suatu hari ada paman dan bibi kami yang bertandang ke rumah. Mereka sering berkunjung ke rumah kami. “Wah si kecil semakin lucu ya, badannya mulai berisi, pasti kuat minum susunya. Tapi, ngomong-ngomong rambutnya tipis sekali. Koq nggak tumbuh-tumbuh ya?”, kata bibi kami. “Bagaimana kalau saya cukur rambutnya. Kita botakin saja. Biasanya, nanti akan tumbuh lebat. Kalau mau, nanti saya yang cukur!” kata paman kami dengan penuh semangat, menyambung komentar istrinya.
Mulanya saya agak ragu. Walaupun saya tahu banyak orang melakukan hal yang sama kepada bayi mereka, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Akhirnya karena dibujuk dan dijamin aman, dengan harapan rambutnya akan bertumbuh lebat, saya ijinkan paman mencukur rambut anak kami. Mula-mula rambut anak itu dibasahinya dengan air sabun, kemudian paman mulai mencukur rambut tipis yang ada di kepalanya dengan menggunakan alat cukur, yang menurut saya sangat sederhana. Saya memperhatikan dengan seksama dengan perasaan sedikit ngeri ketika paman itu mulai menggerakkan alat cukurnya di kepala anak kami. Ketika asyik memperhatikan, tiba-tiba saya melihat ada darah mengalir dari bagian samping kepalanya. Saya terkejut. Darah saya serasa berhenti mengalir. “Kepalanya berdarah! Stop! Stop! Jangan cukur lagi, jangan teruskan lagi! Aduh, bagaimana ini?”. Saya berlari, tidak berani melihat darah yang mengalir di kepala anak kami. Semuanya terdiam, tidak terdengar suara tangisan bayi, yang ada adalah tangisan saya sebagai ibunya. “Enggak apa-apa kok ma. Dia bergerak tadi, sehingga sedikit tergores dan berdarah. Kulit kepalanya masih halus.”, kata suami saya, sambil berusaha menenangkan saya. “Pokoknya stop aja acara cukur rambutnya. Biar aja dia enggak ada rambutnya. Saya tidak mau dia terluka.”, protes saya. Akhirnya, rambut anak kami tidak jadi di cukur habis, saya peluk dia dengan erat, saya begitu takut kehilangan dia.
Dua ribu tahun yang lalu, seorang perwira tanpa nama mengambil ranting pohon duri, yang durinya sudah cukup tajam untuk menusuk, namun masih cukup lentur untuk dibengkokkan dan dijadikan mahkota duri untuk Yesus. Dalam kitab Suci, duri bukan melambangkan dosa tapi “akibat dosa”. Yesus yang tak pernah berdosa harus merasakan akibat dosa yang mengerikan demi kita. Oh, seandainya Bapa di Surga berseru “STOP!” ketika darah mengalir di kepala Yesus. Oh, seandainya Yesus mendatangkan malaikat Surga dan menggagalkan setiap rencana jahat terhadap dirinya. Oh, seandainya… seandainya, maka rencana keselamatan itu tidak digenapi. Kita tentu bersyukur, karena Dia membiarkan semua itu terjadi, sehingga saya dan saudara boleh diselamatkan.
Tuhan menolong kita sekalian untuk mengerti kasihNya kepada kita.
Mari kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat kita dengan menggunakan tombol "Tell A Friend" di bawah ini.