Wednesday, February 02, 2011

Tindakan Proaktif Yang Nyata

Yakobus 1:22, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.”



Jumat malam itu tepat tanggal 7 Mei 2010. Jam di mobil menunjukkan waktu sudah menjelang tengah malam sementara speedometer mobil dalam posisi tidak pernah kurang dari 100 km/jam. Rombongan yang awalnya hendak konvoi dari Jakarta tiba-tiba berubah menjadi ajang kejar-kejaran di jalan tol Purbaleunyi. Rasanya pengen lekas sampai di Bandung lalu langsung tidur. Tiba-tiba, adik saya mendapat pesan melalui BBM (Blackberry Messanger) dari mobil yang paling depan. Dia menyahut dari jok belakang dengan mengatakan, “Hati-hati kak... di KM 112 ada kecelakaan.” Secara reflex saya langsung bilang, "BBM atau sms mobil yang lain!" Teman-teman di mobil saya juga berusaha kontak ke mobil lain supaya mulai berhati-hati karena sebentar lagi mau memasuki wilayah KM 112.

K
M 109. Tiba-tiba adikku menyahut lagi, “Eh, katanya mereka turun bantuin yang kecelakaan”. “Apa? Ada apa ini? Ini mobil siapa sih yang kecelakaan?”, tanya saya. Di KM 110, saya sudah memainkan lampu dim sambil menyalakan emergency sign dengan maksud supaya mobil lain yang berada di depan mengurangi kecepatan kendaraannya. Di KM 111, saya berusaha mendekati mobil teman yang lain lagi, namun ternyata dia malah semakin mempercepat mobilnya. Di akhir KM 112, saya melihat dua unit mobil teman saya sudah berhenti dengan sebuah mobil Isuzu Panther melintang. Puji Tuhan! Ini bukan dari rombongan kami.

Reflex, saya langsung turun dan bilang, “Ayo kita bantu! Yang perempuan tinggal di mobil aja”. Di hadapan saya ada sebuah mobil Panther yang sudah hancur kiri depannya, dan 3 pemuda yang berlumuran darah di wajah dan di tangan. Mereka semua sedang dibantu untuk membersihkan darah, sekaligus menghentikan perdarahannya. Namun, perhatian saya justru tertuju kepada orang yang ada di bangku kemudi. Posisinya seperti setengah terjepit dan kepala menghadap kanan. Tidak ada darah sama sekali. Seperti tidak terlihat hidup. Saya coba panggil, “Pak, pak…! Apakah bapak baik-baik?”. Dia tidak merespons. Saya kembali memanggil, “Pak, pak…! Semua baik-baik saja... bapak bisa dengar suara saya?”. Tiba-tiba dia mengangkat sedikit kepalanya dan menengok ke arah saya yang tepat berada di sebelah kirinya, tanpa berkata-kata hanya bersuara, "Hmmm…" . Saya langsung berkata, “Ok pak, bapak tenang. Bapak tunggu di sini saja...”. Jujur saya bingung. "Gawat deh! Saya tidak mengerti P3K. Saya bukan anak medis. Apa yang harus saya lakukan? Saya kembali ke mobil dan membuka bagasi hendak mengambil senter. Namun saya bingung mau melakukan apa. "Mau ambil air minum buat apa juga?", pikirku dalam hati. Masakan saya ambil kamera kemudian mengabadikan TKP? "Coba lakukan hal yang berguna", demikian bisikan ke dalam telinga saya.

Saya putuskan untuk kembali kepada orang yang berada di balik kemudi itu. Itu setidaknya akan membuatnya lebih baik. Ketika saya kembali menemui sang bapak, lalu saya tanyakan, “Pak, bisa bernafas?”. Ia menjawab, “Nafas saya sesak...” . “Ok Pak, kursi bapak akan saya coba geser mundur sedikit ke belakang. Kalau bapak merasa sakit, tolong beritahu”. Akhirnya saya dan teman saya berhasil membuat dia sedikit lega untuk bernafas. Saya panggil salah saeorang teman saya yang calon dokter. “Mari, tolong bantu saya untuk periksa bapak ini. Dia tidak ada luka sama sekali, namun saya melihat ada darah kering di tangannya.” Teman saya berkata, “Mengapa kamu gerakin posisinya?” Inilah pertanyaan pertama yang dia tanyakan kepada saya. Oh! Perasaan bersalah saya langsung muncul. Saya takut kalau tiba-tiba bapak ini tidak bernafas lagi. “Maaf teman, tadi dia sesak nafas, jadi saya bantu untuk kendorin kursinya”, sahutku. Sementara bapak itu diperiksa, saya tinggalkan mereka berdua dengan harap-harap cemas (H2C) terhadap keadaan orang yang di kemudi.

Tiba-tiba teman yang lain berteriak, “Yes, ayo kita pergi! Petugas Jasa Marga sudah datang! Nanti kalau sampai ditanya-tanya, kita bisa lebih lama lagi sampai di Bandung.” Akhirnya beranjaklah kami semua dari tempat itu melanjutkan perjalanan kami ke Bandung. Di mobil yang tadinya rame, jadi hening, diam dan hanya bersuara seperlunya. Mobil pun tidak lagi kebut-kebutan bahkan tidak pernah lewat dari 100 km/jam. Lagu-lagu rohani yang diperdengarkan mulai membuat suasana semakin syahdu. Masing-masing kami menikmati kesendirian, mungkin sambil merenung.

Akhirnya kami pun tiba di rumah salah satu teman seperjalanan kami dan waktu menunjukkan hampir pukul 2 subuh. Mungkin Tuhan punya rencana kenapa rombongan ini harus pergi terlambat. Mungkin rombongan ini dikirim oleh Tuhan untuk membantu korban kecelakaan ini. Saya angkat topi untuk dua unit mobil pertama yang mau berhenti dan memberikan pertolongan pertama. Bahkan empat acungan jempol buat salah seorang teman saya yang pertama kali berinisiatif untuk membantu. Teman-teman di mobil bercerita bahwa dia sampai loncat keluar mobil. Salut juga untuk teman-teman perempuan yang mau membantu membersihkan darah korban kecelakaan. Saya senang menjadi bagian dari keluarga ini. Bandung tidak jauh lagi. Dan, sebuah pelajaran berharga yang saya dapat: Inilah tindakan proaktif yang nyata…

Selamat pagi dan selamat berkarya untuk semua sahabat-sahabatku yang kekasih di dalam Kristus Yesus. Jangan lupa menyerahkan diri kepada Tuhan, sebab tanpa Tuhan selangkah maju ke depan boleh jadi membawa maut.


Mari kita bagikan Roti Pagi ini kepada sahabat kita dengan menggunakan tombol "Tell A Friend" di bawah ini.